Beranda | Artikel
Sabarkah Kita Dengan Perbedaan ini?
Senin, 23 Agustus 2021

SABARKAH KITA DENGAN PERBEDAAN INI?

Oleh
Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, M.A.

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ ۗ وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ ۗ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.  Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kalian bersabar? Dan adalah Rabbmu Maha Melihat. [Al-Furqân/25:20]

TAFSIR RINGKAS
Dan Kami tidak mengutus para rasul sebelummu, wahai Rasul Kami, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dengan demikian, janganlah engkau menghiraukan perkataan orang-orang musyrik (yang mengatakan), ‘Mengapa rasul ini mengkonsumsi makanan?’ Janganlah kamu pedulikan hal tersebut. Sesungguhnya mereka telah mengetahui ini, tetapi mereka sombong dan mengingkarinya.

Dan Kami jadikan sebagian kalian cobaan bagi sebagian yang lain,” maksudnya, ini adalah sunnah Kami (ketetapan Kami yang pasti terjadi). Kami menguji sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Kami uji orang Mukmin dengan orang kafir, Kami menguji orang kaya dengan orang miskin dan Kami menguji orang yang mulia dengan orang rendahan. Kami melihat siapakah yang bersabar dan siapakah yang tidak bersabar? Kami akan membalas orang yang bersabar sesuai hak mereka dan orang-orang yang tidak bisa bersabar juga demikian.

Maukah kalian bersabar? Maksud dari pertanyaan ini adalah perintah, “Bersabarlah kalian dan jangan marah! Wahai orang-orang yang beriman atas gangguan orang-orang musyrik dan kafir terhadap kalian.”

Dan adalah Rabbmu Maha Melihat.” Dan Rabb kamu, wahai Rasul, Maha Melihat orang yang bersabar dan orang yang marah. Oleh karena itu, bersabarlah dan jangan marah! Sesungguhnya dunia adalah tempat fitnah dan ujian, dan sesungguhnya Allâh akan membalas orang-orang yang bersabar dengan pahala yang tanpa batasnya.[1]

PENJABARAN AYAT
Sebab Turun Ayat
Disebutkan oleh al-Wâhidi rahimahullah dalam kitab Asbâbun Nuzûl sebuah riwayat dari Juwaibir dari Adh-Dhahhâk dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Ketika orang-orang musyrik mencela Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam sebagai orang yang miskin, mereka mengatakan:

 وَقَالُوا مَالِ هَٰذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ

Dan mereka berkata, “Mengapa Rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?[2]

Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam sedih karena itu. Kemudian Malaikat Jibril datang menghibur Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam dan berkata, ‘Keselamatan semoga terlimpah untukmu, wahai Rasul Allâh! Rabb, Pemiliki kemuliaan mengucapkan salam kepadamu dan berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ 

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.[3] yaitu mereka mencari penghidupan di dunia.”[4]

Namun, dalam sanadnya ada Juwaibir, dia sangat lemah dan adh-Dhahhaak tidak bertemu dengan Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma. Dengan demikian, atsar (perkataan Sahabat Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu) di atas sanadnya lemah.

Sebab turun di atas inilah yang sering dibawakan oleh para Ulama tafsir, meskipun dalam sanadnya terdapat kelemahan.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ 

Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.

Allâh Azza wa Jalla mengutus para Rasul-Nya dari kalangan manusia. Karena mereka manusia, tentu membutuhkan makan dan minum, juga perlu bekerja untuk mencari rezeki Allâh dengan cara halal dan tidak bergantung kepada orang lain.

Dan ini bukan aib bagi mereka. Justru dengan demikian, para Rasul bisa menjadi teladan bagi para pengikutnya dalam kesehariannya.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang orang-orang yang telah Allâh utus sebelumnya. Sesungguhnya dahulu, mereka mengkonsumsi makanan dan membutuhkan makan, dan mereka berjalan di pasar-pasar’ untuk mencari penghasilan dan berdagang. Dan itu tidak bertentangan dengan keadaan dan kedudukan mereka. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan untuk mereka penampilan yang baik, sifat-sifat yang indah, perkataan-perkataan yang utama, amalan-amalan yang sempurna, mukjizat-mukjizat yang hebat dan dalil-dalil yang kuat.”[5]

Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Saya hanyalah seorang rasul. Saya tidak mengada-adakan hal baru dari apa yang dilakukan oleh para rasul. Mereka adalah manusia yang makan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Dan ada pendapat lain (dalam tafsir ayat ini), yaitu: tidaklah kami mengutus rasul-rasul sebelummu kecuali akan dikatakan kepada mereka seperti perkataan ini. Sesungguhnya mereka makan makanan dan berjalan di pasar-pasar, sebagaimana di tempat lain:

مَا يُقَالُ لَكَ إِلَّا مَا قَدْ قِيلَ لِلرُّسُلِ مِنْ قَبْلِكَ

Tidaklah dikatakan kepadamu kecuali seperti apa yang telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelummu.’[6].”[7]

Menurut pendapat yang kedua yang disebutkan oleh Imam al-Baghawi di atas, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallammendapatkan celaan yang sama dengan celaan yang pernah dikatakan oleh orang-orang musyrik di zaman masing-masing rasul.

Orang-orang kafir dan musyrik tidak pernah berhenti mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Celaan mereka didasari oleh kebodohan dan kesombongan mereka memeluk agama Islam. Seandainya, Allâh Azza wa Jalla mengutus malaikat sebagai rasul, belum tentu mereka beriman kepada malaikat tersebut. Oleh karena itu, lanjutan dari ayat ini adalah:

وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلَائِكَةُ أَوْ نَرَىٰ رَبَّنَا ۗ لَقَدِ اسْتَكْبَرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ وَعَتَوْا عُتُوًّا كَبِيرًا ﴿٢١﴾ يَوْمَ يَرَوْنَ الْمَلَائِكَةَ لَا بُشْرَىٰ يَوْمَئِذٍ لِلْمُجْرِمِينَ وَيَقُولُونَ حِجْرًا مَحْجُورًا ﴿٢٢﴾ وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, “Mengapa tidak diturunkan kepada kita Malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Rabb kita?” Sesungguhnya mereka memandang diri mereka besar (sombong) dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezhaliman. Pada hari mereka melihat malaikat, dihari itu tidak ada kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa mereka berkata, ‘Hijraan mahjuuraa’ (Semoga Allâh menghindarkan bahaya ini dari saya). Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al-Furqân/25:21-23]

AYAT-AYAT YANG SEMISAL DENGAN AYAT INI
Beberapa ayat yang semisal dengan ini. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” [An-Nahl/16:43]

Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla menjelaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla mengutus para rasul dan semuanya manusia laki-laki.

Begitu pula firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ ﴿٧﴾ وَمَا جَعَلْنَاهُمْ جَسَدًا لَا يَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوا خَالِدِينَ

Tidaklah Kami mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui. Dan tidaklah Kami jadikan mereka tubuh-tubuh yang tiada memakan makanan, dan tidak (pula) mereka itu orang-orang yang kekal.” [Al-Anbiya’/21:7-8]

Ini menunjukkan bahwa seluruh para Nabi membutuhkan makanan, layaknya manusia pada umumnya.

juga firman-Nya:

مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ ۖ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ انْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْآيَاتِ ثُمَّ انْظُرْ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

Al-Masih putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan [Al-Mâidah/5:75]

Pada ayat ini Allâh mengabarkan bahwa Nabi ‘Isa Alaihissallam membutuhkan makan.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً

Dan Kami jadikan sebagian kalian fitnah (cobaan) bagi sebagian yang lain.

Allâh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan keadaan yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang kaya dan ada yang miskin, ada yang sehat dan ada yang sakit, ada yang sempurna dan ada yang cacat, ada yang bermartabat mulia dan ada yang rendahan, ada yang berwajah rupawan dan cantik dan ada yang tidak demikian. Ini semua adalah keadaan-keadaan dunia yang bisa menjadi fitnah atau cobaan untuk manusia, apakah mereka bisa menerimanya dengan lapang dada ataukah tidak?

Perbedaan ini sudah ditaqdirkan oleh Allâh Azza wa Jalla , sehingga setiap manusia wajib rela menerima taqdir Allâh tersebut.

Imam Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Dan Kami jadikan sebagian kalian sebagai cobaan bagi sebagian yang lain. Maksudnya adalah orang yang kaya menjadi cobaan bagi orang yang miskin. Orang miskin akan mengatakan, ‘Mengapa saya tidak seperti orang kaya tersebut?’ Begitu pula orang yang sehat menjadi fitnah bagi orang yang sakit. Orang yang mulia menjadi fitnah bagi orang rendahan. Ibnu ‘Abbas c mengatakan, ‘Yaitu Aku (Allâh Azza wa Jalla ) jadikan sebagian kalian sebagai ujian bagi sebagian yang lain, agar kalian bisa bersabar atas apa yang kalian dengar dari mereka dan perbedaan yang kalian lihat dari mereka sehingga kalian bisa mengikuti petunjuk. Dalam pendapat lain, dikatakan bahwa ini adalah ujian untuk orang yang memiliki kedudukan mulia terhadap orang yang rendahan. Orang yang memiliki kedudukan mulia ketika mereka berniat masuk ke agama Islam, kemudian dia melihat orang-orang rendahan yang telah masuk Islam sebelumnya, maka mereka enggan (untuk masuk Islam), dan dia berkata, ‘Bagaimana mungkin saya masuk Islam setelah orang itu, sehingga dia menjadi lebih dahulu dan memiliki keutamaan.’ Dengan ini, dia tetap pada kekafirannya dan menolak untuk masuk agama Islam. Ini adalah bentuk fitnah sebagian dari sebagian yang lain.”[8]

Allâhu a’lam, tidak ada pertentangan di antara dua pendapat di atas, orang miskin diuji dengan orang kaya, apakah orang miskin bisa bersabar menerima keadaannya? Begitu pula orang kaya, mereka diuji dengan keberadaan orang miskin, apakah mereka bisa bersyukur atas kenikmatan yang Allâh berikan kepada mereka ataukah tidak ? Apakah mereka bisa membersihkan dari diri mereka sifat sombong dan sikap meremehkan orang lain?

DALAM URUSAN DUNIA, LIHATLAH ORANG YANG LEBIH MEMILIKI KEKURANGAN
Dengan perbedaan yang ada di dunia ini, sudah sepantasnya kita banyak melihat kepada orang-orang yang banyak memiliki kekurangan dalam hal duniawiyah. Orang yang merasa dirinya miskin, maka sudah sepantasnya melihat kepada orang yang lebih miskin dari dirinya. Begitu pula jika dia merasa kedudukannya rendah, memiliki penyakit, jelek fisiknya dan lain-lain, maka sudah sepantasnya dia melihat kepada orang yang memiliki kekurangan lebih banyak daripada apa yang dia rasakan. Dengan demikian, insya Allâh, seorang hamba akan bisa selalu bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla .

Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:

إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ

Jika seorang dari kalian melihat kepada orang yang diberikan kelebihan harta dan fisik darinya maka lihatlah kepada orang yang memiliki kekurangan darinya.[9]

Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam juga bersabda:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

Lihatlah kalian kepada orang yang di bawah kalian dan janganlah kalian melihat kepada orang yang di atas kalian. Sesungguhnya itu lebih berhak (kalian lakukan) agar kalian tidak menganggap remeh kenikmatan Allâh kepada kalian.[10]

DALAM URUSAN AKHIRAT, KITA BERLOMBA-LOMBA DALAM KEBAIKAN
Akan tetapi untuk urusan akhirat dan beramal shalih, maka kita disuruh untuk berlomba-lomba dalam mengerjakannya, saling menasihati dan saling mengingatkan akan pentingnya beramal shalih.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Sekiranya Allâh menghendaki, niscaya kalian dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allâh hendak menguji kalian atas pemberian-Nya kepada kalian, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” [Al-Mâidah/5:48]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan.” [Al-Baqarah/2:148]

Dan juga firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

وَفِي ذَٰلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba. [Al-Muthaffifin/83:26]

Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda:

بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

Bersegaralah kalian untuk beramal, sebelum datang fitnah-fitnah seperti potongan malam yang gelap. Seorang ketika pagi dia beriman, kemudian di waktu sorenya dia menjadi kafir, atau seseorang ketika sore dia beriman, kemudian di waktu paginya dia menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan barang-barang dunia.[11]

Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

أَتَصْبِرُونَ

Apakah kalian bersabar?

Imam al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Maksudnya, (Apakah kalian bersabar?-red) dengan keadaan ini, yang berupa kemiskinan, kesulitan dan gangguan (dari orang kafir).”[12]

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa ada pendapat lain tentang makna ‘Apakah kalian bersabar?’ yaitu ‘bersabarlah kalian!’ Sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

فَهَلْ أَنْتُمْ مُنْتَهُونَ

Apakah kalian tidak berhenti?’ [Al-Mâidah/5:91]

Maksudnya adalah ‘berhentilah!’ Berdasarkan ini, berarti ini adalah perintah untuk bersabar.”[13]

KESABARAN RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DAN KERELAANNYA DALAM MENERIMA KEADAAN YANG KURANG
Allâh Azza wa Jalla menguji Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamdengan ujian yang sangat banyak dan sangat besar. Ujian tersebut pasti terjadi pada Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam . Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam menyebutkan dalam hadits qudsi, Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا بَعَثْتُكَ لِأَبْتَلِيَكَ وَأَبْتَلِيَ بِكَ

Sesungguhnya Aku telah mengutusmu untuk mengujimu dan Aku menguji (manusia) dengan keberadaanmu.[14]

Disamping Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk mendapatkan ujian, manusia juga diuji dengan keberadaan Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam . Apakah mereka bisa menerima kenabiannya, tidak mengingkari apa yang dikabarkannya ataukah tidak? Meskipun Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam sering ditolak dan dicela oleh orang-orang kafir, Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam tetap meneruskan dakwahnya.

Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam adalah manusia yang sangat sabar dengan keadaannya dan Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam benar-benar tidak terpengaruh dengan dunia, apalagi fitnah yang disebutkan dalam ayat ini.

‘Aisyah Radhiyallahu anhuma pernah mengatakan:

دَخَلَتْ عَلَيَّ امْرَأَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ فَرَأَتْ فِرَاشَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَطِيفَةٌ مَثْنِيَّةٌ، فَانْطَلَقَتْ فَبَعَثَتْ إِلَيَّ بِفِرَاشٍ حَشْوُهُ الصُّوفُ، فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ” مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ؟ ” قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ فُلَانَةٌ الْأَنْصَارِيَّةُ دَخَلَتْ عَلَيَّ، فَرَأَتْ فِرَاشَكَ فَذَهَبَتْ فَبَعَثَتْ إِلَيَّ بِهَذَا قَالَ: ” رُدِّيهِ يَا عَائِشَةُ، فَوَاللهِ لَوْ شِئْتُ لَأَجْرَى اللهُ مَعِيَ جِبَالَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّة

Seorang wanita dari kalangan Anshar masuk ke dalam rumahku, lalu dia melihat ranjang Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam beralas kulit. Kemudian dia pun pulang dan mengirimkan kepadaku ranjang yang alasnya terbuat dari wol. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam bersabda, ‘Apa ini? Wahai ‘Aisyah?’ Saya pun berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Ada seorang wanita Anshar masuk ke dalam rumahku dan melihat ranjangmu, kemudian dia pergi dan mengirimkan ini kepadaku.’ Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam pun berkata, ‘Kembalikanlah itu! Wahai ‘Aisyah! Demi Allâh! Seandainya aku mau, maka Allâh akan menjalankan gunung emas dan perak bersamaku.’.”[15]

Subhanallâh, Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam mau, maka Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam bisa menjadi orang terkaya di dunia dan paling banyak memiliki fasilitas-fasilitas duniawiyahnya. Akan tetapi, Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam tidak menginginkannya dan lebih memilih hidup dengan keadaan sederhana.

Di dalam kisah yang panjang ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam menjauhi istri-istri Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam dan tinggal di suatu ruangan kecil, ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu menceritakan:
Saya keluar hingga saya sampai (ke tempat Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam ), ternyata Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam berada di suatu ruangan yang tinggi milik Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam . Dan Beliau sedang berada di atas tikar dan tidak ada lapis antara tubuh Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam dengan tikar tersebut. Dan di bawah kepala Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam ada bantal yang terbuat dari kulit (yang sudah disamak) dan alasnya adalah serabut pohon kurma. Di kaki Beliau ada dedaunan (yang digunakan untuk membersihkan kulit) yang dikumpulkan. Di sebelah kepala Beliau ada kulit yang digantung. Saya pun bisa melihat bekas tikar di badan Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam bagian samping, kemudian saya menangis. Kemudian Beliau pun berkata, ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Saya berkata, ‘Wahai Rasûlullâh! Sesungguhnya Kisra dan Qaishar dengan apa yang mereka miliki (dari dunia), sedangkan engkau adalah utusan Allâh.’ Beliau berkata, ‘Apakah kamu tidak ridha jika dunia untuk mereka dan akhirat untuk kita?’[16]

Begitulah orang-orang kafir, meskipun mereka di dunia dihiasi dengan banyak barang, kemewahan dan berbagai macam perhiasan dunia, maka sudah sepantasnya orang-orang yang beriman tidak terkecoh dengan hal tersebut. Kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan harta dan dunia. Biarlah mereka mendapatkan berbagai hal tersebut di dunia, tetapi mereka tidak akan mendapatkannya di akhirat dan biarlah di dunia kita mendapatkan berbagai macam kekurangan, tetapi Allâh Azza wa Jalla memberikan surga sebagai gantinya.

Firman Allâh Azza wa Jalla :

وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

Dan adalah Rabbmu Maha Melihat

‘Dan adalah Rabb-mu Maha Melihat’ semua orang, melihat siapa yang bersabar dan yang tidak, melihat orang yang beriman dan yang tidak, melihat orang yang telah menunaikan hak Allâh Azza wa Jalla dan orang yang tidak menunaikannya.[17]

KESIMPULAN

  1. Terdapat riwayat dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma tentang sebab turunnya ayat tersebut, tetapi dalam sanadnya terdapat kelemahan.
  2. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallamdiutus sebagai seorang rasul dan Beliau makan dan mencari rezeki. Ini bukanlah suatu aib bagi seorang Rasul, karena Allâh Azza wa Jalla tidak mengutus seorang rasul kecuali dia juga makan dan mencari rezeki.
  3. Orang-orang kafir mengejek Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam dengan ejekan tersebut, sebenarnya hanya berniat mengejek dan merendahkan Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam . Kalaupun Allâh Azza wa Jalla menurunkan malaikat sebagai utusan Allâh Azza wa Jalla mereka tetap saja tidak mau beriman.
  4. Yang dimaksud dengan fitnah pada ayat di atas adalah cobaan bagi orang-orang yang beriman dengan adanya perbedaan duniawi di antara manusia.
  5. Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kita agar bisa bersabar dalam menghadapi perbedaan tersebut.
  6. Kita diperintahkan untuk banyak melihat orang-orang yang lebih banyak memiliki kekurangan dalam hal duniawi daripada diri kita, agar kita bisa terus bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla .
  7. Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam adalah manusia yang paling bisa bersabar menghadapi berbagai fitnah, termasuk fitnah perbedaan duniawi ini. Jika Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam mau, maka Beliau Shallallahu ‘aliahi wa sallam bisa menjadi orang yang paling kaya di dunia ini, tetapi beliau tidak menginginkannya.
  8. Kesederhanaan hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘aliahi wa sallam sudah sepantasnya menjadi pelajaran bagi orang-orang yang beriman agar tidak mencintai dunia.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut Tafâsîr li Kalâm ‘Aliyil Kabîr wa bihâmisyihi Nahril Khair ‘Ala Aisarit Tafâsîr. Jâbir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
  2. Al-Jâmi’ Li Ahkâmil-Qur’ân. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.
  3. Asbâbun Nuzû Abul-Hasan ‘Ali bin Ahmad Al-Waahidi An-Naisaburi. Tahqiiq: ‘Isham bin ‘Abdil-Muhsin Al-Humaidan. Dammam: Daarul-Ishlaah.
  4. Jâmi’ul Bayân fii Ta’wîlil Qur’ân. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  5. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzhîm. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.
  6. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.
  7. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat Aisar at-Tafâsîr, hlm. 1022
[2] QS. Al-Furqân/25:7
[3] QS. Al-Furqân/25:20
[4] Asbâbun Nuzûl, karya Abil Hasan al-Wahidi, hlm. 332
[5] Tafsir Ibni Katsîr, VI/100.
[6] QS. Fushshilat/41: 43.
[7] Tafsir Al-Baghawi, VI/77.
[8] Al-Baghawi, VI/77.
[9] HR. Al-Bukhâri no. 6490 dan Muslim, no. 2963/7428.
[10] HR. At-Tirmidzi no. 2703 dan Ibnu Majah no. 4142. Syaikh al-Albani menyatakan shahih dalam kitab Shahîh Sunan Ibni Mâjah.
[11] HR. Muslim, no. 118/313.
[12] Tafsîr al-Baghawi,  VI/78.
[13] Tafsir al-Qurthubi, XIII/19.
[14] HR. Muslim,no. 2865/7207.
[15] HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 1395. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 2484.
[16] HR Al-Bukhari no. 332 dan Muslim no. 1479/3691.
[17] Tafsir Al-Qurthubi XIII/19.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/37647-sabarkah-kita-dengan-perbedaan-ini-2.html